Telematika merupakan istilah bentukan baru merujuk pada
fenomena konvergensi Teknologi Informasi dan Telekomunikasi. Dunia
internasional menyebutnya sebagai Information and Communication Technology
(ICT).
Bagi sementara pihak, sektor
Telekomunikasi, Teknologi Informasi dan Penyiaran/Multimedia
(Telematika) masih dianggap sebagai sektor yang kurang menarik untuk
dibicarakan terutama dalam konteks diskursus politik praktis. Tidak demikian
halnya bila kita bersedia meluangkan waktu sejenak untuk meneropong posisi
strategis sektor Telematika ini, khususnya bila dikaitkan dengan kontribusi
sektor ini terhadap perencanaan dan implementasi strategi pembangunan ekonomi,
sosial, politik, dan pertahanan keamanan nasional.
Kenyataan bahwa telekomunikasi sudah
menjadi kebutuhan penting dan untuk mendukung aktivitas sehari-hari bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia sudah sulit dipungkiri. Kenyataan bahwa
informasi merupakan salah satu faktor penting dalam memenangi persaingan baik
untuk lingkup bisnis maupun non-bisnis juga telah diakui oleh para pakar. Juga
disadari pula peran penting dari industri penyiaran dalam penyebaran informasi,
mempengaruhi opini, cara pandang manusia dan pembentukan budaya terutama di
alam demokrasi ini.
Oleh karena itu, penyelenggaraan
telematika menjadi bersifat strategis, karena tidak saja dibutuhkan oleh banyak
pihak, namun, sebagaimana layaknya infrastruktur ekonomi lainnya, penyediaan
sarana telematika dipercaya dapat mendorong tercapainya sasaran pembangunan
nasional yang lebih baik. Namun mengingat penanganan masalah telematika ini
pada masa yang lalu ditangani secara parsial oleh departemen-departemen,
institusi pemerintahan yang terkait maupun lembaga non-pemerintah, maka dalam
pelaksanaannya, pembangunan telematika di Indonesia tidak terjadi saling
koordinasi dan sinergi di antara para pihak terkait.
Sementara lingkungan internasional
telah terjadi persaingan antar negara untuk menguasai teknologi telematika dan
untuk menjadi pemimpin ataupun sentra (hub) teknologi telematika
(telekomunikasi dan informasi) di lingkup regional maupun internasional.
Bagaimana Indonesia menyikapi hal ini? Apakah Indonesia siap bersaing atau
hanya akan menjadi konsumen saja? Tampaknya belum ada visi yang kongkrit
menjawab permasalahan tersebut.
Tulisan selanjutnya bermaksud
memberikan penjelasan ataupun pandangan tentang perlunya Pemerintah memberikan
perhatian khusus dalam menangani bidang telematika, ditinjau dari isu-isu
maupun permasalahan penting yang muncul di bidang telematika ini.
1. Teknologi Telekomunikasi sebagai
infrastruktur pembangunan dan sebagai komoditas?
Tidak dapat dipungkiri bahwa seperti
halnya infrastruktur transportasi, jalan, dan listrik, teknologi telematika
yang merupakan konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi dan
penyiaran memungkinkan terlaksananya aktivitas perekonomian dan sosial kemasyarakatan
dengan lebih baik. Meski kontribusi sektor telematika dalam Pendapatan Nasional
belum cukup signifikan, hanya sebesar 5.1% utuk tahun 2000 dan 5.8% untuk tahun
2001 namun dengan tersedianya infrastruktur dan layanan telekomunikasi dan informasi,
sesungguhnya membantu aktivitas perekonomian, pendidikan, pemerintahan dan
aktivitas di sektor lain untuk dapat lebih cepat berputar, lebih efisien
berproses dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan di sektor lain selain
telekomunikasi dan informasi.
Salah satu contoh dari dampak langsung pertumbuhan industri
telekomunikasi dan informasi di Indonesia terdapat di majalah Warta Ekonomi
edisi Maret 2001 yang mencatat ada sedikitnya 900 perusahaan dotcom di
Indonesia pada saat booming bisnis e-commerce. Jika rata – rata
setiap perusahaan menyerap 50 tenaga kerja ahli di bidang telematika, maka
45.000 tenaga kerja telah terserap dalam industri dotcom di Indonesia. Di
bidang penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, serta penyedia layanan
Teknologi Informasi (TI), diperkirakan tidak kurang dari satu juta tenaga kerja
terserap di sektor ini. Sayangnya, menyusul surutnya bisnis e-commerce dan
kurangnya dukungan infrastruktur informasi di Indonesia menjadikan banyak
perusahaan dotcom Indonesia kurang berhasil dibandingkan India atau negara
lain.
Masalah infrastruktur telekomunikasi
dan informasi akan semakin mudah dipahami apabila kita melihat wilayah
Indonesia bagian timur yang dari sisi kondisi geografisnya cukup sulit untuk
dijangkau dan mengakibatkan pembangunannya selalu tertinggal dari wilayah
Indonesia lainnya. Dengan adanya teknologi telematika aliran informasi dapat
diterima oleh penduduk di kawasan Indonesia timur pada saat yang bersamaan
dengan penduduk di daerah lainnya, sehingga tidak terjadi masalah kesenjangan
informasi yang akan berakibat pada kurang kompetitifnya daerah kawasan
Indonesia timur. Demikian juga dalam hal pendidikan, dengan adanya teknologi
telematika, hambatan untuk memperoleh pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar
hingga tingkat tinggi dapat diminimalisir melalui tele-education. Perdagangan
dapat dipercepat transaksinya dan perhitungan bisnis menjadi lebih akurat
melalui e-commerce. Selanjutnya diharapkan pertumbuhan pembangunan akan terjadi
dengan memberdayakan potensi daerah kawasan Indonesia timur itu sendiri.
Pembangunan sektor telekomunikasi diyakini akan menarik
berkembangnya sektor – sektor lain, sebagaimana diyakini oleh organisasi
telekomunikasi dunia, ITU, yang secara konsisten menyatakan bahwa penambahan investasi
di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di negara – negara
Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara – negara Eropa, Skandinavia, dan
lainnya yang telah memberi perhatian besar pada sektor telekomunikasi, sehingga
selain jumlah pengguna telepon (teledensity)
meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dari penjelasan di
atas, jelaslah bahwa Teknologi Telematika sesungguhnya merupakan bagian dari
infrastruktur pembangunan.
Akibat arus globalisasi ekonomi dan kondisi di banyak negara
infrastruktur telematikanya telah tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, maka
oleh lingkungan internasional, teknologi telematika khususnya telekomunikasi
telah dianggap sebagai komoditas, dan oleh karenanya dalam aktivitas
transaksinya selalu menggunakan perhitungan bisnis yang berorientasi profit. Indonesia yang juga
tergabung dalam organisasi WTO, tidak terkecualikan dalam lingkungan global
ini. Saat ini dapat dikatakan hampir tidak ada perusahaan-perusahaan penyedia
jaringan dan layanan telekomunikasi di Indonesia yang tidak berorientasi
profit. Pemerintah sendiri sudah sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah
lagi mengalokasikan dananya untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. Tugas
pembangunan infrastruktur telekomunikasi dibebankan kepada swasta atau BUMN.
Dari penjelasan ini, maka infrastruktur telekomunikasi dan informasi telah
menjadi komoditas. Dengan memperlakukan infrastruktur telekomunikasi dan informasi
sebagai komoditas, diharapkan pemerintah tidak perlu terlalu jauh mengatur
kompetisi dalam penyediaan komoditas, dan mulai menyerahkan pengaturannya
kepada mekanisme pasar.
Namun harus disadari bahwa belum
seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati manfaat dari infrastruktur
telekomunikasi ini, bahkan Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah
infrastruktur telekomunikasi yang rendah di dunia. Meskipun duopoli dalam
kompetisi di sektor telekomunikasi telah diberlakukan, tampaknya aturan pasca duopoli
masih perlu diperbaiki agar lebih banyak masyarakat yang dapat memperoleh
manfaat layanan telematika. Oleh karenanya penanganan masalah telekomunikasi
dalam menyikapi lingkungan global dan kebutuhan penyediaan infrastruktur
domestik perlu dilakukan secara hati-hati dan terencana mengingat berbagai
permasalahan yang terdapat di dalam sektor yang terkonvergensi ini dan
kaitannya dengan keterhubungan infrastruktur luar negeri yang cukup kompleks.
Untuk permasalahan penyiaran, perlu
dipikirkan secara sungguh-sungguh penanganan masalah lembaga penyiaran publik,
masalah kepemilikan silang dan kepemilikan asing dari lembaga penyiaran swasta
dan masalah konten yang memerlukan kejelian dalam menyesuaikannya dengan
hal-hal yang berkaitan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
2. Teknologi sebagai sarana
pemberantas KKN
Teknologi telematika memungkinkan terjadinya transparansi.
Semua informasi dapat disajikan melalui website atau
situs internet, agar dapat diakses oleh masyarakat luas. Informasi tentang
pengadaan barang, seleksi pemasok, pembelian dan penjualan aset/saham, dan
bahkan informasi tentang pejabat, seleksi pejabat, kekayaan, dan lain-lain
dapat diletakkan di situs internet untuk diketahui oleh masyarakat luas.
Dengan diterapkannya teknologi
telematika dalam upaya pemberantasan KKN, maka diharapkan proses seleksi,
pengadaan maupun proses lain yang rawan terhadap kemungkinan KKN dapat
dilakukan secara elektronik dan oleh karenanya menurunkan ekonomi biaya tinggi.
Selanjutnya diharapkan akan terjadi efisiensi biaya yang berakibat menurunnya
biaya-biaya tak terduga yang harus dibayar oleh masyarakat dan dapat
meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak.
Oleh karena itu jelas, teknologi
telematika memungkinkan terjadinya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat dan
dapat menjadi salah satu andalan untuk memberantas KKN secara cepat dan meluas.
Tentunya perlu komitmen Pemerintah untuk menggunakan teknologi telematika
semaksimal mungkin dalam program pemberantasan KKN ini. Hal ini akan mencakup seluruh
aspek pemerintahan mulai dari penanganan proses seleksi pengadaan, seleksi
direksi BUMN, seleksi pemilihan operator telekomunikasi, seleksi kepegawaian,
penanganan proyek-proyek pemerintah, penanganan data kependudukan, penanganan
masalah pajak, penanganan masalah bea dan cukai, dlsb. Pelaksanaan pemerintahan
yang berdasarkan teknologi telematika bukanlah hal yang mudah, namun
langkah-langkah dasar ke arah itu perlu dilakukan sejak sekarang, dan perlu
komitmen penuh Pemerintah karena Indonesia sudah ketinggalan dari negara
tetangganya.
3. Teknologi Telematika sebagai
sarana kemajuan intelektual bangsa Indonesia
Apabila kita melihat posisi Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara tetangganya di lingkungan ASEAN saja, maka Indonesia saat ini
tidak pernah menduduki posisi yang memimpin pada hampir semua sektor
pembangunan yang melibatkan teknologi telematika. Singapura, Malaysia, dan
Thailand saat ini sudah bersaing untuk menjadi hub perdagangan,
transportasi, jaringan telekomunikasi dan teknologi informasi, untuk kawasan
Asia. Negara-negara tersebut di atas telah mempunyai visi yang dilengkapi
dengan kemampuannya menguasai teknologi telematika, sehingga akhirnya mampu
bersaing untuk dapat menguasai kawasan Asia. Malaysia sejak tahun 1990 telah
menggodok visi negaranya melalui Malaysia Vision 2020 yang saat ini sudah mulai
kelihatan wujudnya. Demikian juga Singapura dan Thailand.
Indonesia seharusnya juga melihat
bahwa peluang untuk maju dari negara lain adalah terletak pada keinginannya
untuk menguasai teknologi telematika sebagai kunci dari kesuksesannya di bidang
lain. Alasan bahwa rakyat Indonesia masih berkutat pada masalah kemiskinan,
kelaparan dan lapangan pekerjaan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk
menyusun strategi bagi penguasaan teknologi telematika dan penguasaan pasar
teknologi telematika pada saat yang bersamaan. Memecahkan masalah-masalah di
atas tidak dapat dilakukan secara sekuensial, tapi harus secara paralel dan
lateral dengan koordinasi yang sangat intensif antar institusi terkait.
Beberapa program pemberdayaan
masyarakat di pedesaan yang menggunakan teknologi telematika akan meningkatkan
kualitas hidup dan memberikan pembelajaran akan proses berpikir kreatif dari
penduduk desa tersebut. Dampak langsungnya adalah kemampuan masyarakat dalam
penguasaan teknologi tersebut dan keinginan untuk membaca informasi. Dampak
tidak langsungnya adalah bahwa terjadi proses kreatif dalam mengatasi masalah
pekerjaan, pembelajaran, bisnis, dan lain-lain sehingga membangkitkan semangat
juang dan semangat hidup untuk masyarakat.
Teknologi telematika memungkinkan
masyarakat yang tidak beruntung atau berada pada lokasi terpencil untuk belajar
melalui teknologi tele-education. Masalah kesehatan di daerah terpencil dapat
diatasi dengan lebih baik melalui teknologi tele-medicine, karena para dokter
yang tinggal di kota kecil dapat berkonsultasi dan belajar melalui internet
kepada dokter yang lebih berpengalaman atau yang tinggal di kota besar.. Petani
dan nelayan dapat memperoleh hasil panen yang lebih baik karena fasilitas
ramalan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang terhubungkan dengan
teknologi telematika.
Pejabat-pejabat pemerintah dapat meningkatkan pelayanannya
kepada masyarakat melalui fasilitas e-government yang saling terhubung antar satu
instansi dengan instansi lainnya sambil meningkatkan efisiensi kerja dan tetap
meningkatkan kemampuannya melalui fasilitas distance
learning yang
diselenggarakan secara berkala khusus untuk meningkatkan profesionalisme
pegawai pemerintah.
4. Penanganan Sumber Daya Terbatas
Bidang telekomunikasi dan penyiaran
memiliki permasalahan yang menyangkut penggunaan sumber daya terbatas seperti
frekuensi dan penomoran telepon. Pengaturan mengenai sumber daya terbatas ini
tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan maupun pengaturan internasional oleh
organisasi telekomunikasi dunia – International Telecommunication Union (ITU) –
maupun organisasi penyiaran internasional seperti ABU (Asia Broadcasting
Union), dimana Indonesia harus turut mematuhinya agar dapat menjaga
keterhubungan dengan jaringan telekomunikasi dan penyiaran internasional.
Agar penanganan sumber daya terbatas
tersebut di atas dapat dilakukan secara efisien dan dapat digunakan untuk
sebesar-besarnya manfaat masyarakat Indonesia, maka diperlukan penanganan yang
sungguh-sungguh oleh sumber daya manusia yang profesional, kompeten dan
mempunyai integritas yang baik, terutama dalam iklim kompetisi terbuka Apabila
penanganan permasalahannya tidak profesional maka Indonesia akan memubazirkan
sumber daya yang terbatas tersebut yang seharusnya bisa dinikmati dan
dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat luas.
Di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, dalam
beberapa tahun mendatang akan muncul permasalahan untuk menyusun electronic numbering, yang akan menyatukan nomor
telepon biasa/analog yang jumlahnya terbatas dengan nomor telepon yang berbasis
teknologi paket (digital) yang biasa digunakan oleh internet. Permasalahan ini
membutuhkan penanganan yang bijaksana, agar Indonesia dapat mengakomodir perkembangan
teknologi informasi tersebut secara tepat waktu.
Bila menyangkut perkembangan
teknologi yang saling berkonvergensi, teknologi selalu berada lebih dulu
daripada regulasi dan kebijakan Pemerintah. Maka perlu visi dari Pemerintah
untuk dapat melihat jauh ke depan demi melakukan antisipasi yang diperlukan
dalam hal pengaturan dan penegakan peraturannya. Sedangkan permasalahan
teknologi informasi perlu menyusun strategi agar Indonesia dapat mensinergikan
semua potensi industri di Indonesia agar dapat meningkatkan posisinya di
lingkungan internasional.
5. Defisiensi dari keadaan yang
sekarang
Dalam kondisi saat ini, persamaan
persepsi pejabat pemerintah tentang kegunaan dan manfaat dari tekonologi
telematika belum pada posisi yang sama. Demikian pula tentang visi dari pejabat
pemerintah mengenai apa yang dapat dilakukan pemerintah dalam menjalankan
tugasnya untuk mengelola negara dan memberikan layanan publik dengan
memanfaatkan teknologi telematika bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Pada kabinet yang sekarang
penanganan masalah telekomunikasi berada dibawah naungan Departemen Perhubungan
yang sesungguhnya bebannya sudah cukup berat karena menangani masalah
perhubungan darat, laut dan udara. Penanganan masalah penyiaran berada di bawah
naungan Kementrian Komunikasi dan Informasi, yang tidak mempunyai kewenangan
operasional. Sedangkan masalah teknologi informasi, kebijakannya berada di
bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi, sedangkan operasionalnya berada di
bawah Departemen Perhubungan, serta pembinaan industrinya berada di bawah
Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Akibat perbedaan persepsi dan visi
pejabat pemerintah tentang teknologi telematika, maka terdapat koordinasi yang
kurang harmonis dalam kebijakan pemerintah untuk menetapkan arah pembangunan
bangsa melalui institusi-institusi pemerintah. Terlebih lagi kurangnya
koordinasi kebijakan pada sektor-sektor yang melibatkan pemanfaatan teknologi
telematika ini menimbulkan inefisiensi nasional, karena masing-masing sektor
bergerak sendiri tanpa memperhatikan apa yang telah dilakukan sektor lainnya,
dan tidak saling memanfaatkan fasilitas yang telah dibangun. Akibatnya adalah
kebijakan sektor yang kurang harmonis dengan sektor lainnya. Kebijakan salah
satu sektor bisa jadi menghambat kebijakan di sektor lainnya, antara lain
karena belum adanya satu visi mengenai pembangunan telekomunikasi, teknologi
informasi dan penyiaran.
Sejak tahun 1998 telah berdiri Tim
Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI), yang sesungguhnya tujuannya adalah
untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan telematika,
namun kurangnya kepemimpinan dari TKTI, menyebabkan hasil-hasil TKTI tidak
dapat diimplementasikan.
6. Pentingnya pembentukan
Departemen Telematika
Akibat dari hal-hal di dalam butir 5
di atas serta timbulnya konvergensi teknologi telekomunikasi, teknologi
informasi dan multimedia menjadi telematika, Masyarakat mendesak agar
Pemerintah terpilih Oleh karena itu sangat mendesak agar Pemerintahan terpilih
nanti membentuk Departemen Telematika yang akan menangani masalah
telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran dalam satu Departemen
Telematika.
7. Pemisahan fungsi-fungsi
pembuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan
Untuk mengatasi masalah kurangnya
koordinasi dan untuk meningkatkan efisiensi dalam pembuatan kebijakan agar
menghasilkan efisiensi nasional dalam pembangunan bangsa, maka masyarakat
mengusulkan sebagai berikut:
1.
Agar Presiden membentuk Komite
Pembangunan Ekonomi Nasional Berbasu Telematika.
2.
Komite ini sebaiknya dipimpin oleh
Wakil Presiden dan melapor langsung kepada Presiden.
3.
Komite akan merupakan Dewan Pengarah
bagi pembuatan kebijakan-kebijakan nasional terutama dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (information economy) dengan memanfaatkan semaksimalnya
teknologi telematika. Kebijakan-kebijakan akan dibuat terkoordinasi dan
sedapatnya tidak saling tumpang tindih, terutama dalam memanfaatkan teknologi
telematika.
4.
Kebijakan dan pengaturan sektor akan
tetap menjadi tanggung jawab Menteri dan lembaga pengatur di sektor terkait.
Selain hal di atas, dalam setiap
sektor terjadi pergeseran peran pemerintah. Paradigma saat ini adalah terjadi
pemisahan fungsi-fungsi pembuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan dalam
institusi yang berbeda. Ada beberapa model negara-negara yang dapat dijadikan
contoh, namun yang penting peran pembuat kebijakan tetap berada di tangan
Pemerintah. Peran sebagai pengatur ada di tangan lembaga regulator dan peran
sebagai pengawas atau penegakan hukum dapat berada di tangan pemerintah,
regulator ataupun institusi penegakan hukum. Tujuan dari pemisahan
fungsi-fungsi di atas adalah demi untuk terjaganya keluhuran dari cita-cita
pembangunan bangsa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai keputusan
politik dan terdapatnya mekanisme kontrol antar institusi yang menjalankan
fungsi yang berbeda tersebut.
Sebagai contoh, apabila terdapat
Departemen Informasi dan Telematika yang membawahi industri telematika dan
penyiaran, maka fungsi pembuat kebijakan terdapat pada Menteri (Departemen),
fungsi pengatur dan pengawasan terdapat pada Komisi Regulasi Telekomunikasi dan
Komisi Penyiaran Indonesia
Kehadiran Lembaga Pengatur
Berdasarkan UU Telekomunikasi no. 36
tahun 1999, serta berdasarkan aspirasi masyarakat, maka pada bulan Desember
tahun 2003, Pemerintah telah membentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI). Sedangkan berdasarkan UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, Pemerintah telah
membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Baik BRTI maupun KPI dimaksudkan
sebagai lembaga pengatur di tengah iklim kompetisi bebas di industri
telekomunikasi dan penyiaran, serta bertindak sebagai tempat penyelesaian
sengketa yang independen dan beroperasi berdasarkan prinsip transparansi dan
keadilan. Baik BRTI dan KPI sesungguhnya diharapkan dapat memperjuangkan
kepentingan masyarakat luas, oleh karenanya diharapkan dalam proses pengambilan
keputusannya selalu mendengarkan dan berdasarkan aspirasi masyarakat.
Untuk bidang telekomunikasi, dalam
pelaksanaannya masih ada ketidakpuasan terhadap BRTI yang terbentuk saat ini,
dikarenakan tidak semua fungsi dan tugas-tugas yang diharapkan masyarakat dapat
dilaksanakan BRTI, dapat dilakukan. Masalah timbul karena harus dimengerti
benar perbedaan fungsi BRTI sebagai lembaga pengatur dan fungsi Departemen
sebagai pembuat kebijakan. Selain itu, masalah landasan hukum pembentukan BRTI
selalu menjadi alasan pemerintah untuk membentuk BRTI yang ideal, sementara
industri telekomunikasi berpendapat perlu perubahan signifikan untuk dapat
bergerak maju, dan jika perlu seharusnya pengaturan perundang-undangan yang
berubah mengikuti perkembangan teknologi dan lingkungan yang semakin
kompetitif.
Ketidakpuasan juga terjadi pada KPI
yang terbentuk saat ini. Pembagian tugas antara Departemen dan KPI menjadi
perdebatan yang harus diselesaikan segera, mengingat bahwa UU Penyiaran
tersebut akan berlaku efektif tahun 2004 ini.
Untuk masa yang akan datang,
diharapkan spirit perubahan paradigma mengenai peran pemerintah dimengerti
benar oleh Pemerintahan yang akan datang. Selain itu fungsi regulator haruslah
dilengkapi dengan kewenangan untuk menetapkan sanksi administratif maupun
sanksi lain yang lebih mengikat.